Dan Wanita Itu … (7)

Sebelumnya …

”Ya sudah kalau begitu. Besok gue kabarin”, sahut Hari. ”Ok. Thanks banget, bro. Udahan ya … jam telpon cowok sudah berakhir”, gurauku mengakhiri percakapan itu.

***
Malam itu aku tidur lebih awal dari biasanya. Sekitar jam 10 aku sudah terlelap dalam buaian mimpiku.

” Daru. Lupakan Indri”, kata seorang laki-laki yang belum pernah aku kenal sebelumnya. ”Kenapa?”, tanyaku ”Karena dia sudah tidak sendiri lagi”, ungkapnya ”Maksudnya?”,

Belum juga aku mendapat jawaban dari laki-laki itu, tiba-tiba aku terbangun dari mimpiku. Aneh, mimpi itu sungguh aneh. Siapa laki-laki tadi, dan apa benar yang dikatakan laki-laki dalam mimpiku itu. Ah … mungkin hanya perasaan yang terbawa mimpi.
Perasaan bimbang sempat menggangguku. Antara percaya dan tidak atas mimpi yang baru saja kualami. Aku sempat terdiam beberapa saat di atas tempat tidurku. Sementara jam di dinding kamarku masih menunjukkan pukul 3 pagi. Masih terlalu malam untuk beranjak dari peraduanku.

Kuhempaskan lagi tubuhku diatas kasur, dengan harapan aku segera bisa tidur kembali dan mimpi tadi hanyalah sebuah mimpi. Hanya mimpi, bukan firasat!

***

Kriiinnngggg …. handphone-ku berdering tepat sesaat setelah suara adzan Maghrib berkumandang.
”Iya Har, gimana?”, tanyaku langsung pada intinya ”Gila, gak sabaran benar loe”, katanya,”Gini .. kayaknya si Indri itu sudah … ”. ”Iya … aku tahu”, aku memutus bicaranya.

Aku teringat akan mimpiku semalam. Dan ternyata, mimpi itu adalah sebuah pesan dari alam bawah sadarku.

”Tahu apaan, gue belum selesai ngomong”, protesnya ”Dia sudah tidak sendiri kan?”, kataku pelan tapi jelas. ”Hah … darimana loe tau? Dia kasih tau loe?”, tanyanya agak heran.

”Bukan … seseorang bilang padaku lewat mimpi semalam. Gue juga gak ngerti, gimana ceritanya gue bisa mimpi seperti itu”, ungkapku ”Ngaco loe!”

”Serius gue”, kataku meyakinkan. ”Gue pikir itu hanya mimpi biasa. Ternyata sebuah firasat”, kataku pelan. ”Ya sudahlah. Enak atau enggak di dengar, tapi yang jelas informasinya seperti itu tadi”. ”Udah lama?”, tanyaku lagi ”Barusan. 2 bulanan kali”, jawabnya.

Aku menghela nafas panjang. ”Ya sudahlah, Har. Thanks ya atas bantuannya”, kataku mengakhiri pembicaraan.

Kabar itu memang terasa menyengat di telingaku. Sebuah kabar yang menyatakan bahwa cinta itu sudah tidak mungkin lagi untuk dibahas bahkan diteruskan. Dan mungkin, haram hukumnya untuk dipertanyakan.

Tapi … aku terlanjur jatuh cinta. Apakah aku salah mencintainya? Tidak .. itu bukan salahku, karena cinta itu datang jauh sebelum aku tahu siapa sebenarnya wanita itu.
Lalu salah siapa? Mungkin hanya waktu dan keadaan yang bisa dituntut dan dimintai tanggungjawab atas semua ini. Bukan kepada siapa-siapa, bukan aku … bukan dia … apalagi cinta.

***
Aku datang atas nama cinta
Aku pergi juga karena cinta
Seperti bulan yang terlelap di wajahnya

Ada apa dengannya
Menyapa hati untuk terluka
Mendatangi diri untuk kecewa

Tapi cinta … tetaplah cinta
Yang harus disapa bila bersua
Karena cinta … adalah jiwa

Lalu sekali ini kulihat karya surga dari mata seorang hawa
Dan aku ingin dia
Itu saja .

”Kenapa kamu tidak cerita kepadaku?”, tanyaku pada suatu kesempatan jalan bersama wanita itu. ”Cerita soal apa?”, dia balik bertanya ”Soal status kamu. Apa kamu malu dengan status?”, tanyaku menyelidik. ”Status apaan”, ujarnya mencoba berkilah ”Status kamu yang ternyata sudah ….”, aku tidak melanjutkan kata-kataku.

”Kan mas Daru tidak pernah menyinggung masalah itu”, jawabnya setelah mengerti maksud dari perkataanku. ”Lho … gak usah aku tanya pun, seharusnya kamu tau dong. Kamu udah gede kan, jadi bullshit kalau kamu tidak tau kalau ada seorang co yang pedekate sama kamu”, nadaku agak tinggi.

”Selama ini, apa kamu tidak merasa ada sesuatu yang lain dari saya”, lanjutku. Dia hanya terdiam. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya saat itu.
”Aku kecewa”, selorohku ”Kecewa apa kecele?”, guraunya ”Gak tau… mungkin kombinasi antara keduanya”, timpalku. ”Sudahlah mas, nikmati saja”, katanya enteng.

Gila!!! Apanya yang mesti aku nikmati? Atau sebenarnya apa maksud dari perkataan dia? Tapi aku hanya diam saja, tidak ada niatan untuk memperjelas apa maksudnya. Selanjutnya, kami berdua hanya terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

”Ternyata kamu itu seorang seniman, ya mas?”, tanyanya memecah kesunyian. ”Bukan. Saya hanya suka saja sama karya sastra”, jawabku

”Tapi signature emailnya selalu puitis” ”Hanya penggalan dari beberapa puisi aja kok” ”Mau dong baca puisinya”, pintanya ”Entar aku kirimin. Sebenarnya kurang cocok kalau disebut puisi. Mungkin lebih pas disebut coretan”, kataku. ”Whatever-lah. Kirimin ya. Bener lho”

”Iya … pasti. Apa sih yang nggak buat kamu, nDri”, kataku meyakinkan.
Kesunyian kembali menyelimuti kami berdua. Hanya alunan musik dari CD player yang terdengar, seolah- olah menjadi penterjemah dalam diamku dan diamnya.

”Rumahmu masih jauh?”, giliran aku yang memecah kesunyian. ”Udah deket kok. Lampu merah belok kanan”, katanya menunjukkan arah.
”Oooo … di perumahan itu ya?”, tanyaku seraya menyebutkan nama sebuah komplek perumahan elit di kawasan Bekasi. ”Iya. Kok tau?”, tanyanya
”Aku pernah main kesitu. Lagian berapa luas sih Bekasi?”, tanyaku sok tahu. ”Iya deh … percaya”, balasnya ringan.

Kali ini aku diperbolehkan untuk mengantarkannya hingga didepan rumah, yang ternyata jaraknya cukup jauh dari tempat dimana dulu dia minta diturunkan di pangkalan ojek. Begitu juga dengan hari-hari berikutnya,

aku selalu mengantarkannya persis di depan pintu rumahnya.

***
Waktu terus bergulir. Meskipun aku sudah tahu siapa dia, tapi perasaanku tetap tidak bisa dibohongi atau diingkari. Aku tetap menjalani hidup seperti apa adanya. Aku masih berhuindrin dengannya, masih saling tukar cerita, jalan bareng dan makan bareng. Seolah tidak pernah ada kejadian yang begitu menyesakkan.

Walaupun sebenarnya berat bagiku, tapi aku harus mencoba untuk segera membunuh rasa cinta yang ada. Meskipun aku terpaksa melakukannya dan itu juga berarti aku harus menghianati diriku sendiri. Aku harus berjuang untuk itu, tanpa seorangpun yang tahu dan tak seorangpun yang bisa membantu.

Mungkin untuk melenyapkan cintaku, aku masih sanggup meskipun akan terasa sangat berat. Tapi untuk menghilangkan rasa sayangku, maaf … untuk urusan yang satu ini aku merasa tidak akan pernah mampu.

Bukan maksudku ingin merusak kehidupan dan mengusik ketenangan wanita itu jika aku masih menyayanginya. Tidak … tidak pernah terlintas di otakku pikiran seperti itu.
Aku hanya ingin menyayangi dia apa adanya, dan benar- benar rasa sayang yang tumbuh dari benih suci tanpa ada setitik debu yang menodainya. Meski aku sadar bahwa rasa sayang yang sama tidak mungkin aku dapatkan dari dirinya. Bahkan untuk bermimpi pun rasanya aku tak kuasa.

Tapi jujur, aku hanya berharap dia mau mengerti dan bisa menghargai rasa sayangku.

***
Kamu bukanlah aku
Karena aku juga bukan kamu

Aku adalah aku
Dengan segala masalahku
Dengan segala kesunyianku
Dan semua anganku tentang cintaku

Kamu bukanlah aku
Karena aku juga bukan kamu

Aku adalah aku
Dengan segala kelemahanku
Dan semua keterpurukanku
Akan semua kegelisahanku

Kamu bukanlah aku
Karena aku … juga bukan kamu

Tapi di saat aku mulai lelah untuk mencoba membunuh rasa cinta itu, bukannya belaian lembut atau nyanyian merdu yang bisa membuat jiwaku tenang. Justru senandung kegelisahan yang didendangkan di telingaku.

Rasa itu semakin berat, ketika tanpa ada sebab dan alasan yang jelas, wanita itu mulai menjaga jarak denganku. SMS tak pernah dibalas, telpon tak pernah diangkat dan email yang kukirim pun jarang dibalasnya.

Mungkin di matanya, aku telah menjadi seseorang yang lebih menakutkan daripada monster dan lebih menjijikkan dibanding ulat bulu.

Jika aku dipersalahkan karena telah mencintainya, maka salahkan saja semua orang yang pernah merasakan cinta. Tapi itulah lakon yang harus aku perankan saat ini, dalam suatu cerita karya sutradara terhebat di jagad raya. Suatu cerita yang mengharuskan aku menjalani beberapa waktu kehidupanku dengan kenyataan bahwa wanita itu mungkin telah memandang sebelah mata atas rasa sayangku.

Tapi entahlah … mungkin ini hanya perasaanku, atau ini memang keinginan dia? Hanya dia yang tahu.

Toh aku tidak pernah meminta supaya cinta itu datang kepadaku, apalagi ditujukan untuk wanita itu. Justru cinta itu yang memilihku untuk mencintai wanita itu. Jadi salah siapa?

”Bukan maksudku menyesali nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing”

Semakin hari kurasakan semakin jauh wanita itu menjaga jarak denganku. Aku sudah mulai bosan dengan keadaan seperti ini. Tanpa kejelasan!

bersambung …

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *