Dan Wanita Itu … (12)
|Pukul 6 pagi aku harus bersiap untuk berangkat ke bandara karena rancananya pesawat take-off pukul 8.30 pagi. Jarak antara rumahku dengan bandara Soekarno-Hatta memang cukup jauh. Perjalanan bisa memakan waktu kurang lebih 40 menit jika lalu lintas dalam keadaan lancar.
”Assalamualaikum”, sapaku melalui handphone pada seseorang yang sedang aku telpon. Siapa lagi kalau bukan Indri,
”Waalaikumsalam”, sahutnya
”Lagi ngapain, sayang?”, kali ini aku mulai berani menggunakan kata ”sayang”. Sayang dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan hanya sebagai pemanis bibir.
”Baru bangun”, sahutnya,”Berangkat jam berapa?”
”Harusnya sekarang udah berangkat. Tapi ditunda, nunggu penumpang dari Surabaya”, kataku agak kesal.
”Ya tungguin aja”
”Ya iyalah, masa berangkat sendiri,” sahutku,”Ya sudah dulu ya. Aku mau ngopi dulu, entar aku kabarin lagi kalo udah sampai sana”
”Ya udah. Hati-hati ya”, pesannya
”Kamu juga. Jangan bandel”, balasku
”Kamu yang bandel. Indri kan cantik”, guraunya
”Whatever”, sahutku,”Assalamualaikum”
”Waalaikumsalam”
Setelah penerbangan sempat ditunda beberapa jam, akhirnya pesawat tinggal landas menuju negeri tirai bambu. Perjalan lewat udara yang ditempuh dalam waktu kurang lebih lima jam itu, terasa sangat menjenuhkan. Selama penerbangan, yang bisa disaksikan hanya seluruh isi kabin, belum lagi film yang diputar adalah film-film lawas yang sudah sering disiarkan di televisi.
Sekitar pukul 6 sore waktu setempat, aku telah mendarat di Hong Kong yang merupakan pintu masuk ke Cina. Penerbangan yang menjemukan tadi, ternyata harus berkelanjutan. Karena untuk mencapai Shenzen, sebuah kota di pesisir dataran Cina, aku harus melalui perjalanan darat dengan bus selama hampir 3,5 jam. Betul-betul perjalanan yang melelahkan dan menjemukan.
Hampir tengah malam aku dan rombongan tiba di tempat penginapan. Hawa dingin mulai menyeruak menembus pori-pori. Perubahan cuaca yang mendadak dari panasnya Jakarta ke dinginnya udara di Shenzen mengakibatkan beberapa orang diantara kami harus mengalami serangan flu secara mendadak.
Setelah mandi air hangat dan melahap sepiring kentang goreng dan sepotong ayam goreng yang telah disediakan, angin malam mulai meninabobokanku.
Mengajakku segera berkelana menjelajahi alam bawah sadarku.
***
Sore, selepas kegiatan di kelas aku segera menuju ke kafe internet yang tersedia. Baru 3 hari aku meninggalkan Jakarta, tapi rasa kangen pada wanita itu tidak bisa ditahan lagi. Kutuliskan sebuah email untuk sekedar mengobati rasa kangenku pada wanita itu. Karena dengan tetap berkomunikasi dengan dia, tak pernah kurasakan kesepian yang melanda hari-hariku.
Sungguh!
”Baca email dong!”, sebuah pesan singkat baru saja aku terima.
”Sebentar lagi, aku masih jalan-jalan”. Aku membalasnya. Malam itu, aku dan rombongan sedang menikmati opera di sebuah gedung pertunjukan di down
town. Seumur-umur, baru sekali ini aku menyaksikan opera.
Lewat pukul 10 malam waktu Shenzen, aku sudah tiba di tempat penginapan. Aku langsung lari menuju kafe internet begitu pintu bus yang membawa aku dan
rombongan dibuka.
”What time it will be closed?”, tanyaku pada penjaga kafe internet.
”Twelve”, jawabnya
”Ooo…Ok”, sahutku.
Segera kubuka emailku. Diantara puluhan email yang
kuterima, terselip sebuah email yang dikirim oleh wanita
itu.
”Kapan pulang? Lama amat sihhhh. Jakarta sepi tanpa dirimu”
Sepenggal kalimat di awal email itu membuatku tersenyum. Memangnya selama ini yang bikin Jakarta ramai itu aku? Huh! Namun senyumku itu tak bertahan
lama. Ketika aku membaca paragraf terakhir di email itu, sontak darahku membeku. Mataku berbinar dan nafasku seakan berhenti untuk sesaat.
”Mas, ternyata baru kusadari selama ini kamu telah mengisi kekosongan jiwaku … ”
Aku urungkan niatku untuk membalas email itu, karena aku tidak tahu harus menulis apa? Pikiranku masih berkelana tak tentu rimba. Dan kuharap, besok aku sudah menemukan kalimat yang tepat untuk membalasnya. Terlepas apakah tulisan itu adalah benar kata hatinya atau hanya seuntai kalimat untuk menyenangkan aku. Entahlah … terlalu naif jika aku harus menebaknya.
Tapi yang jelas, aku sangat menghargainya.
***
Ini adalah malam terakhir aku berada di Shenzen, karena besok siang aku harus kembali ke Jakarta. Kota tempat tinggal sekaligus dimana disana terdapat seseorang yang sangat berarti bagiku, meskipun keadaan saat ini tidak bisa menyatukan aku dan dia.
”Waduh … lupa gue”, kataku seraya menepuk jidatku
”Kenapa, man?”, tanya Edi, temanku.
”Ke kota yuk. Gue lupa beliin kado”
”Buat siapa? Bini?”, tanyanya
”Iya. Buat bini …. bini orang”, jawabku enteng
”Ayolah”, sanggupnya tanpa banyak bertanya lagi.
Perjalanan ke kota memakan waktu hampir satu jam dengan biaya 7 RMB sekali jalan.
”Mau dibeliin apaan?”, tanya Edi
”Tau nih. Gue juga bingung”, sahutku sambil menoleh kekanan dan kekiri, berharap ada sesuatu yang bisa memberik ide.
”Baju cina aja”, sarannya
”Busyet”, jawabku
”Kenapa?”, tanyanya lagi
”Dia pake jilbab. Masa dikasih baju cina?”, jelasku
”Ya kan bisa dipake dirumah”, lanjutnya
”Ah jangan baju cina deh. Yang lain aja”, sahutku,”Kita ke Rainbow aja”.
Aku dan Edi segera menuju ke Rainbow, sebuah plaza yang berada di jantung kota Shenzen. Pandangan mata segera menyapu setiap sudut ketika aku sudah berada di lantai 1 plaza itu. Tidak ada yang menarik perhatianku.
”Naahhh … Jaket!”, kataku pada Edi ketika kami berdua sudah berada di lantai 2, dimana dipajang beberapa jaket untuk wanita.
”Jakarta panas, masa dikasih jaket?”, tanyanya ragu
”Panas kan diluar. Kalau di kantor kan dingin”, ucapku.
”Dia satu kantor sama kita?”, tanya Edi menyelidik..
”Eh .. enggak. Emangnya cuman kantor kita yang pakai AC”, kilahku karena aku tidak ingin semua orang tahu tentang siapa dan dimana wanita yang kumaksud.
Setelah beberapa saat aku memilih, akhirnya kutemukan juga model jaket yang pantas jika dipakai wanita itu. Ya, pantas menurut perkiraanku saja. Cocok atau tidak, itu urusan nanti.
”I take this”, kataku pada si penjaga,”How much?”
Penjaga itu hanya menatapku.
”How Much?”, aku mengulangi pertanyaanku.
Penjaga itu tampaknya mulai mengerti apa yang aku maksudkan. Dia menunjukkan sebuah papan yang bertuliskan angka.
”Ok. I take this”, kataku seraya menyerahkan jaket itu kepadanya. Si penjaga itu segera menulis nota pembelian dan menyerahkan kepadaku.
”Where is the cashier?”, tanyaku setelah aku tidak menemukan tempat kasir karena semua petunjuk dalam tulisan Cina. Penjaga itu pun hanya bengong. Setelah kuperlihatkan selembar Yuan, baru dia mengerti maksudku. Diantarkannya aku ke tempat kasir yang memang agak tersembunyi.
Kuserahkan nota pembelian dan beberapa lembar uang Yuan baru. Dibolak-baliknya uang itu, diraba dan diterawangnya.
”Edan. Dia pikir aku ini pemalsu uang apa?”, Dongkolku dalam hati. Tapi kubiarkan saja aksinya. Toh itu salah satu bentuk kewaspadaan.
”Thank you, Sir. Good Night”, kata kasir seraya menyerahkan bukti pembayaran dan uang kembalian.
”Good Evening”.
Aku segera kembali menemui si penjaga untuk menyerahkan bukti pembayaran.
”Ok. Thank you”, kataku setelah menerima bungkusan jaket. Penjaga itu hanya mengangguk.
***
Jam 9 waktu Shenzen, aku dan rombongan harus segera berangkat ke Hong Kong untuk kembali ke Jakarta. Perjalanan yang bakal melelahkan sudah terbayang di kelopak mata. Itu masih harus ditambah dengan barang bawaan yang bertambah berat karena barang belanjaan.
Hampir jam 1 siang, aku telah tiba di HongKong.
Bersambung …