Dan Wanita Itu … (2)
|”Nggak ada. Cuman lagi ngeliatin orang aja. Kayaknya gue kenal deh”, kilahku
”Pasti cewek ya?”, godanya
”Iya dong. Ngapain ngeliatin cowok”, sahutku.
”Iya ya. Kecuali kalau udah nggak normal”, dia menimpali sambil tertawa,”Atau jangan-jangan situ emang udah nggak normal?”.
”Gila loe”.
”Udah makan, Mas?”, tanyanya kemudian ”Belum”, jawabku singkat ”Makan yuk?”, ajaknya ”Dimana?”
”Di foodcourt aja”
”Ayuk aja”, jawabku tanpa pikir panjang,”Makan memang terasa lebih nikmat jika ditemani wanita cantik”.
Tania hanya tersenyum mendengar celotehku.
Aku dan Tania, salah seorang SPG yang bertugas di tempatku, segera melangkahkan kaki menuju foodcourt yang berada di lantai paling atas Mall itu.
“Kuliah dimana, Tan?”, tanyaku membuka percakapan.
“Di Interstudi. Sekretaris”, jelasnya
“Ooo … udah tingkat berapa?”
“Tingkat akhir. Kalau lancar sih tahun depan udah lulus”, ungkapnya.
“Sudah lama jadi SPG?”, tanyaku
“Lumayan. Sekitar 2 tahunan, mas”, jelas gadis cantik kelahiran Jakarta berdarah campuran Jawa dan Sunda itu.
“Lumayan dong honor sebagai SPG?”
“Ya lumayan. Buat nambah uang saku. Soalnya uang saku dari papa kadang kurang. Tapi aku malu mau minta lagi”, paparnya
“Kamu boros kali?”, tanyaku menyelidik
“Ah nggak juga kok. Rumahku kan jauh dari kampus. Ongkos transport aja udah berapa? Kalau aku gak nyambi jadi SPG, yang beliin pulsa handphone-ku siapa dong?”, imbuhnya lagi.
“Ya papamu lah”, kataku
“Gak enak. Urusan papa cukup biayai aku sekolah saja. Yang lain mendingan aku nyari duit sendiri”
Aku terdiam. Saat itu yang ada hanya perasaan salut yang teramat dalam terhadap Tania. Gadis yang tinggal di sebuah perumahan elit di daerah Cibubur itu pastilah dari keluarga mampu. Tapi dibalik kecantikannya, ternyata ada satu kecantikan lain yang terpancar dari dalam dirinya. Meskipun sebenarnya orang tuanya mampu untuk memenuhi segala kebutuhannya, tapi tampaknya Tania lebih memilih untuk tidak terlalu merepotkan orang lain, bahkan untuk merepotkan kedua orang tuanya sendiri.
“Hebat!”, hanya kata itu yang aku ucapkan sembari mengacungkan ibu jariku. Dia tidak menanggapi pujianku, tapi malah asik menghabiskan juice apel yang masih tersisa setengah gelas.
Aku sempat memandangi Tania untuk beberapa saat. Make-up tipis dan kelelahan yang tergurat jelas diwajahnya tak mampu menyamarkan kecantikannya yang tampak begitu alami.
“Kok ngeliatin mulu sih? Kan malu”, ujarnya sedikit tersipu dengan nada protes.
“Kenapa? Malu? Dilihatin kok malu. Kalo kamu telanjang disini, itu baru boleh malu”, kataku seenaknya.
“Yeeeee … “, sahutnya,”Situ yang seneng kali”.
“Seneng apanya? Apa enaknya ngeliat kamu telanjang kalau nggak boleh nyentuh”
“Huh! maunya … “
Aku hanya terkekeh, sementara Tania hanya cengar-cengir saja.
“Udahan yuk. Udah cukup lama kayaknya kita disini”, ajakku pada Tania untuk segera beranjak dari tempat itu.
“Oh iya, hampir 1 jam”, sahutnya,”Jam istirahat hampir habis”.
***
Dari escalator, kulihat wanita yang sempat menyapaku tadi sedang duduk sendirian. Entah apa yang sedang dinikmatinya saat itu. Tapi rasanya tidak mungkin dia sedang menikmati suasana saat itu, mungkin dia sedang memikirkan sesuatu atau sebenarnya dia sudah jenuh berada disini. karena aku sendiri sebenarnya sudah mulai jenuh dan ingin segera enyah dari tempat ini.
”Hmm … ”, gumamku dalam hati. Sungguh, aku melihat sesuatu yang berbeda dari wanita itu. Sesuatu yang belum pernah aku jumpai hingga saat ini. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu pasti, apa penjelasan dari sesuatu itu. Ada apa dengan wanita itu?
”Tan, aku ambil permen dulu ya”, kataku pada Tania
”Ok, mas”, jawabnya,”Ambil yang banyak ya?”.
Aku hanya mengacungkan jempol tanganku. Kulangkahkan kakiku menuju ke arah wanita itu. Mungkin dengan mengajaknya ngobrol bisa sekedar mencairkan suasana dan sedikit melupakan kejenuhan, lelah dan penat yang aku rasakan. Kuraih 2 buah air mineral gelas dari dalam kardus diatas meja yang sempat kulalui ketika menuju ke arahnya.
Dari jauh kulihat dia sudah memamerkan deretan gigi putihnya. Senyum manis terurai dari bibirnya.
”Minum?”, aku sodorkan satu gelas kepada wanita itu sesaat setelah aku duduk disampingnya.
”Terima kasih”, ucapnya,”Darimana, mas? Lama banget ngilangnya?”
Kok dia tahu kalau aku baru saja menghilang untuk waktu yang cukup lama? Atau mungkin tadi dia sempat mencariku? Atau …. ? Ah, buat apa dipikir.
”Dari ngambilin kamu air minum. Kamu kelihatannya haus gitu. Gak tega ngeliatnya”, jawabku sekenanya
”Ah bisa aja cari alasan”, timpalnya
”Ya kalau sudah tahu cuma cari alasan, mengapa mesti tanya”, kataku dalam hati.
”Ngambil air minum aja, sejam lebih”, gerutunya
”Ya ngambilnya langsung di pabriknya sana. Kan jauh”, kilahku
”Eh .. tadi namanya siapa?”, aku pura-pura lupa dengan nama wanita itu. Sekedar cari jalan untuk mencari bahan pembicaraan berikutnya.
”Indri … belum tua kok udah pikun sih?”, canda wanita itu
”Ooo .. indri. Pasaran banget ya namanya?”, aku balik bercanda
”Biarin”.
”Jangan marah, saya kan cuman bercanda”, lanjutku menimpali,”Tapi emang pasaran banget sih”.
”Biarin … nyela mulu sih. Heran!”, protesnya,”Baru kenal juga”.
”Justru karena baru kenal itu. Kalau udah lama kenal, gak mungkin aku nyela lagi. Karena celaanku pasti udah habis”,
Dia tersenyum kecut, sementara aku hanya cengar- cengir.
”Dari Jawa ya?”, tebaknya ”Sok tau”, kataku ”Dari ngomongnya udah ketahuan”, sahutnya ”Ya emang. Terus kenapa?”, tanyaku ”Gak papa”, jawabnya ”Kamu darimana?”, aku balik bertanya ”Bandung”, sahutnya Aku hanya manggut-manggut. ”Pantesan”,
kataku dalam hati. ”Bandung. Aku pernah tinggal di Bandung” ”Oh ya?”, tanyanya ”Iya. Aku hampir 6 bulan disana. Kerja”, jelasku
seraya menyebutkan salah satu perusahan telekomunikasi yang ada di kota kelahiran wanita itu.
”Kok sekarang di Jakarta?”
”Nasib yang membawa saya kesini. Lagian, kamu sekarang juga ada di Jakarta”, aku menimpali
Wanita itu kembali memamerkan senyumannya.
”Pulang kemana, mas?”, tanya wanita kemudian. ”Ke Tebet. Kenapa? Mau nganterin?”, balasku ”Ah enggak lah. Kebetulan hari ini aku bawa
mobil. Siapa tahu mau nebeng” ”Emang pulang kemana?”
”Bekasi” ”Tinggal sama siapa?” ”Bu Dhe” ”Bu Dhe?”, tanyaku memperjelas ”Iya. Emang kenapa?”, sahutnya ”Nggak apa-apa sih. Nanya doang”, balasku,
”Kok betah sih hidup di pelosok?” ”Yee … nyela mulu sih”, nadanya agak jengkel. ”Kan Bekasi bukan Jakarta, tapi diluar. Ujung
dunia lagi”, kataku lagi. ”Biarin”, sahutnya
”Udah rumahnya pedesaan, di sini tinggal di pelosok lagi”, godaku lagi
”Udah sana deh .. daripada nyela mulu”, usirnya Aku hanya tersenyum.
”Boleh minta permennya?”, pintaku
”Habis nyela kok minta permen sih?”, guraunya,”Gak tahu malu!”.
”Biarin. Emang saya gak punya malu”, aku segera mengambil beberapa permen dan kumasukkan ke kantongku.
”Banyak amat?”
”Biarin … buat persiapan. Mulut saya pahit kalau ngomong terlalu lama”
bersambung …