Dan Wanita Itu … (11)
|”Jika hanya wajah dan tubuh yang jadi ukuran, mungkin tidak seperti ini. Ada sesuatu yang membuat saya jatuh hati padanya. Sesuatu yang selama ini tidak saya temukan pada teman wanita saya. Sesuatu yang baru bagi saya. Dan terus terang, saya jatuh cinta sejak pertama bertemu”, paparku.
”Hmmm … cinta pada pandangan pertama. Jarang orang yang mengalaminya”, sahutnya.
Aku sedikit terkejut karena ternyata orang tua itu tidak menertawakanku. Sebelumnya aku mengira bahwa dia akan mengatakan seperti cerita sinetron saja. Ternyata tidak. Orang tua itu benar-benar seseorang yang memahami betul tentang arti cinta.
”Kamu harus bersyukur karena telah mengalaminya”, lanjutnya
Apanya yang mesti disyukuri? Justru karena cinta pada pandangan pertama itulah yang telah membawaku dalam keadaan serba sulit seperti saat ini. Suatu keadaan yang membuatku berharap akan sesuatu yang sebenarnya sangat sulit untuk diharapkan.
Aku berdiri untuk segera pamit pulang.
”Lain waktu, ajak dia kesini”, ledeknya lagi.
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
***
Shenzen – Jakarta
”Daru, bisa kesini sebentar?”, sore itu atasanku tiba-tiba memanggil. Aku segera masuk ke ruangannya. Tidak ada tanda tanya sama sekali di benakku karena biasanya dia memanggilku untuk sekedar tukar pikiran. Memang selama ini aku memang cukup akrab dengannya.
”Yes, Sir?”, sapaku sesaat setelah aku duduk di kursi ruangannya.”
”Kamu mau ikut trainning nggak?”, tanyanya,”Tapi lama, sebulan”.
”Boleh”, jawabku
”Tapi kamu kan sudah mengajukan cuti. Kalau kamu ikut, berarti cutimu diundur”
”Saya belum mengajukan kok. Baru rencana”,
”Emangnya, dimana?”, tanyaku kemudian
”Cina”, katanya singkat.
”Nggak masalah. Setengah tahun juga nggak masalah”, kataku
”Ok kalau gitu. Kamu siapkan paspormu. Besok akan diurus visa-nya. 2 minggu lagi kamu berangkat”, jelasnya.
”Siap, Boss”
Aku segera beranjak dan kembali ke meja kerjaku karena ada beberapa pekerjaan yang masih menumpuk dan harus segera diselesaikan.
***
Tanpa bicara, aku menyerahkan bungkusan yang terlilit rapi dengan kertas kado berwarna biru.
”Apa ini?”, tanya Indri,”Boleh dibuka?”
”Buka aja”, jawabku singkat
Dia pun mulai membukanya.
”Kerudung. Alhamdulillah … terima kasih ya, Mas”,
ucapnya,”Ada dua toh”
Aku hanya mengangguk.
”Siapa yang milihin, Mas?”, tanyanya lagi
”Aku sendiri. Biru .. karena aku suka warna biru. Dan putih, iseng aja sih waktu itu. Asal comot”, lanjutku.
”Kok asal comot sih?”, protesnya
”Tapi bagus kan?”
”Iya sih”.
”Tapi kamu harus memakainya. Karena kalau nggak, aku tidak akan pernah memaafkanmu tujuh turunan”, ancamku
”Ya pasti aku pakai. Tapi sumpahnya kok lama amat. Tujuh turunan”.
”Biarin”.
”Tapi ini dalam rangka apa?”, tanyanya kemudian.
”Kado ulang tahun”, jawabku
”Tapi kan ulang tahunku masih lama. 2 bulan lagi”, dia mengingatkan.
”Iya tau. Tapi nggak apa-apa kan kalo kadonya duluan?”
”Ya nggak apa-apa sih”, jawabnya.
”Kemarin aku ke Mall sama temen. Iseng aja. Tau-tau kepingin saja membelikan kamu kerudung. Wanita kelihatan cantik kalau pakai jilbab”, kataku
Dia tertawa.
”Kenapa tertawa?”, tanyaku heran
”Akhirnya mengakui kalau aku cantik”, sahutnya.
”Lho, saya kan bilang wanita kelihatan cantik kalau pakai jilbab. Kalau kamu mah tetep aja jelek”, kilahku
”Lho … saya kan wanita juga”, protesnya
”Tapi jelek …”, timpalku.
”Bodo”, jawabnya singkat
”Aku mau ke Cina”, kataku kemudian
”Kapan?”, tanyanya
”2 minggu lagi aku berangkat”
”Ngapain kesana?”
”Trainning”, jawabku,”Mau ikut?”
”Maunya sih, tapi it’s too good to be true”, jawabnya
Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum.
”Berapa orang yang berangkat, Mas?”
”12 orang”, sahutku
”Berapa lama. Seminggu?”, tanyanya
”Sebulan”
”Lama amat sih. Eh … tapi gak papa, asal nggak lupa oleh-olehnya?”, katanya sambil terkekeh.
”Dasar. Bukannya ngasih uang saku, malah minta oleholeh”, candaku
***
Awan gelap menggelayut di atas Jakarta, bersiap untuk menumpahkan butiran air hujan yang seolah sudah tidak sabar untuk membasahi bumi.
”Tadi kesini naik apa, Mas?”, tanya Indri padaku.
”Taksi. Pulangnya kamu antar ya?”, sahutku
Dia hanya mengangguk.
”Tunggu sebentar ya, Mas?”, katanya
Aku hanya mengangguk pelan.
Sore itu aku memang sengaja menemuinya di tempat kerja, karena esok harinya aku sudah harus bertolak ke Cina.
Tidak sampai 15 menit aku menunggu, dia sudah menemuiku lagi dengan tas kecil ditenteng di tangannya.
”Pulang?”, tanyaku
”Iya. Mas atau Indri yang bawa mobilnya?”, tanyanya
”Kamu aja. Gantian kamu yang nyopir”, sahutku
Tampaknya langit sudah sabar lagi untuk menunggu.
Baru beberapa ratus meter mobil bergerak meninggalkan tempat kerjanya, hujan deras mengguyur Jakarta.
”Besok berangkat jam berapa?”
”Pesawat jam setengah sembilan. Paling dari rumah sekitar jam enam gitu deh”.
”Jangan lupa oleh-olehnya ya?”, pesannya
”Apa sih yang nggak buat kamu?”, candaku
Sementara dia kembali tersenyum. Entah senyum untuk
apa?
”Eh mas. Ngopi yuk?”, ajaknya ketika kami melewati sebuah kafe yang cukup ternama di Jakarta.
”Ayuk”
”Tapi traktir”, rengeknya
”Hayuk aja”
Hujan pun akhirnya reda setelah puas mengguyur bumi ini. Dan sepertinya dia ingin menjadi saksi bahwa malam ini adalah awal dari perpisahanku dengan wanita itu hingga satu bulan ke depan. Mungkin satu bulan adalah waktu yang singkat, namun tidak bagiku. Karena aku harus terpisah ribuak kilometer dari seorang wanita yang sepertinya terlalu istimewa untuk kutinggalkan.
”Selamat tinggal ya. Jangan bandel”, ujarku sesaat setelah kami tiba di depan rumahku.
”Iya. Hati-hati”, sahutnya seraya menyambut uluran tanganku.
Aku hanya mengangguk. Diantara bias cahaya lampu jalan yang menerobos masuk melalui kaca mobil,
kupandangi wajah wanita itu.
”Sudah malam, Mas. Aku harus pulang”, ucapnya membuyarkan tatapanku.
”Hati-hati di jalan”
”Iya. Assalamualaikum”, pamitnya
”Waalaikumsalam”
Mobil berwarna biru tua metalik itu pun mulai meninggalkanku. Seandainya saja ada pilihan, sebenarnya aku ingin melewati malam ini dengan wanita
itu, tapi situasi dan keadaan memang tidak memungkinkan.
Hanya wangi aroma parfum dan bayangannya saja yang tertinggal menemaniku.
thanks you for sharing….!