Dan Wanita Itu … (10)
|Kusapukan pandanganku ke seluruh isi ruangan itu. Nampak kumpulan karya sastra tertata rapi di rak buku yang terletak di sudut sebelah kiri ruangan itu. Puluhan novel, biografi dan buku-buku tentang sastra terbitan dalam dan luar negeri dipajang dengan rapi.
Sebuah lukisan abstrak menjadi satu-satunya hiasan yang tergantung di tembok ruangan itu.
”Kalau mau baca, ambil saja”, suara orang tua itumemecah keheningan. ”Saya lagi malas membaca”, sahutku. Orang tua itupun hanya terkekeh. ”Kok tertawa, pak?”, tanyaku setengah heran ”Nggak. Ternyata kamu memang benar-benar sedang kasmaran, anak muda”, sahutnya, ”Dulu waktu aku masih seusiamu dan sedang dimabuk asmara, memang bawaanya malas. Cuman memikirkan pujaan hati saja yang tidak membuatku malas”.
Dia kembali terkekeh, sementara aku hanya tersenyum kecut.
”Pak. Saya mau pulang dulu. Kapan-kapan saya kesini lagi” ”Ya ya … aku tahu. Kamu sudah tidak tahan lagi untuk segera menemui wanita idamanmu itu”, jawabnya setengah mengejek.
Aku segera pamit dan menyalami orang tua itu. ”Kamu sudah mengatakan perasaanmu?”, tanya orang tua itu menghentikan langkahku. ”Secara langsung sih belum. Tapi saya yakin dia sudah mengerti tentang perasaan saya pada dirinya”. ”Secara langsung bagaimana?”, tanyanya
Aku terpaksa kembali duduk di kursi. Tak enak rasanya berbicara dengan orang tua sambil berdiri.
”Ya … mengatakan secara langsung kalau saya memang cinta sama dia”, kataku menjelaskan. ”Lho … kenapa belum?”, kejarnya ”Saya nggak tau harus bagaimana. Karena dia … ”
”Sssttt ….”, dia memotong pembicaraanku. ”Katakan saja terus terang. Bukan sebuah dosa kok”, ceramahnya,”Atau jangan-jangan kamu sudah tidak bernyali seperti dulu lagi?” ”Tentu saja saya masih punya nyali. Tapi sekarang ini masalahnya lain”, jawabku membela diri. ”Lain apanya? Dia kan wanita juga. Lalu bedanya apa?”, sahutnya. ”Bedanya ya .. karena statusnya itu, pak”.
”Hmmm …”, orang tua itu mengernyitkan dahinya. ”Katakan saja, atau kamu akan menyesal selamanya”, ucapnya setengah memerintah. ”Apa jika saya mengatakannya, itu akan merubah keadaan?” ”Lho … ini gak ada hubungannya antara merubah keadaan dengan menyatakan perasaan”.
”Lalu … apa gunanya?”, tanyaku lagi. ”Supaya dia tau kalau kamu mencintainya. Itu saja” ”Cuman itu?”, kali ini ganti aku yang mengernyitkan dahi. ”Ya iya. Memang mau gimana lagi?”, dia balik bertanya.
Aku tak menggubris pertanyaan itu. Lagian harus aku jawab seperti apa? Aku hanya diam terpaku. Kusapukan lagi pandanganku menyusuri seluruh sudut ruangan.
”Cantikkah dia?”, tanya orang tua itu lagi.
Aku hanya tersenyum. ”Ya ya … aku tahu. Nggak mungkin kamu sampai kasmaran berat seperti ini jika dia tidak cantik”, ledeknya. ”Jika hanya wajah dan tubuh yang jadi ukuran, mungkin tidak seperti ini. Ada sesuatu yang membuat saya jatuh hati padanya. Sesuatu yang selama ini tidak saya temukan pada teman wanita saya. Sesuatu yang baru bagi saya. Dan terus terang, saya jatuh cinta sejak pertama bertemu”, paparku.
”Hmmm … cinta pada pandangan pertama. Jarang orang yang mengalaminya”, sahutnya
Aku sedikit terkejut karena ternyata orang tua itu tidak menertawakanku. Sebelumnya aku mengira bahwa dia akan mengatakan seperti cerita sinetron saja. Ternyata tidak. Orang tua itu benar-benar seseorang yang memahami betul tentang arti cinta.
”Kamu harus bersyukur karena telah mengalaminya”, lanjutnya
Apanya yang mesti disyukuri? Justru karena cinta pada pandangan pertama itulah yang telah membawaku dalam keadaan serba sulit seperti saat ini. Suatu keadaan yang membuatku berharap akan sesuatu yang sebenarnya sangat sulit untuk diharapkan.
Aku berdiri untuk segera pamit pulang. ”Lain waktu, ajak dia kesini”, ledeknya lagi. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
– bersambung … –